JAKARTA – Seorang terduga teroris yang tewas usai baku tembak dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri di Pegunungan Sakina Jaya, Desa Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah diduga kuat adalah Daeng Koro. Lantas bagaimanakah sepak terjangnya selama ini?
“Yang meninggal saat baku tembak diduga kuat Daeng Koro, seorang disertir Kostrad dan ia adalah mentor utama dari seorang Santoso dan kawan-kawannya,” ungkap Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya kepada wartawan, Minggu (5/4/2015).
Menurutnya, image Santoso yang diceritakan oleh pihak Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai buron nomer satu dan paling berbahaya terlalu bombastis.
“Untuk image building dari kepentingan proyek kontra terorisme. Kalau cermat memahami kelompok Santoso, justru Daeng Koro lah yang sangat perlu diperhitungkan. Namun, sekarang dia sudah meninggal,” tegasnya.
Menurut Harits, sekarang kelompok Santoso tidak sekuat sebelumnya baik dari sisi jumlah personil maupun senjata. “Jadi kalau pemerintah niat menyelesaikan itu bukan persoalan sulit, jika mereka masih bergerilya maka cukup diturunkan aparat yang punya kemampuan TPRG (taktik perang regu gerilya),” sambungnya.
Kalau Densus atau polisi tidak punya kapasitas tersebut, lanjut dia, tentu tidak perlu memaksakan diri. Biar Poso tidak perlu lama jadi panggung sandiwara dengan judul memburu teroris Santoso. Sebab, masyarakat Poso lelah dengan stigma sarang teroris.
Padahal soal kelompok Santoso, kata Harits adalah residu konflik masa lalu yang tidak mendapatkan solusi komprehensif. Saatnya selesaikan Poso secara komprehensif tidak hanya mengandalkan security approach.
“Sejatinya BNPT tidak perlu membesar-besarkan soal Santoso. Kalau serius kirim Kopassus 10 orang saja beres. Masyarakat butuh hidup tenang, dan label poso sarang teroris membuat pendekatan keamanan sering-sering mengusik kedamaian masyarakat bahkan sebagian dari mereka jadi korban salah tangkap,” tuturnya. (oke)