SUARA BEKASI, Jakarta: Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mendapatkan sorotan publik terkait pengesahan perubahan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono.
Pengamat hukum tata negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) M Imam Nasef mengatakan, merujuk pada ketentuan Pasal 24 UU Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol), Menkumham belum bisa menerbitkan Surat Keputusan (SK) tentang pengesahan perubahan susunan kepengurusan Partai Golkar.
“Sebab perselisihan kepengurusan di internal Golkar belum terselesaikan. Hal itu dikarenakan putusan Mahkamah Partai Golkar sama sekali tidak menyelesaikan perselisihan kepengurusan antara hasil Munas Bali dan Munas Ancol,” ungkap Nasef kepada wartawan, Kamis (12/3/2015).
Menurutnya, putusan Mahkamah Partai Golkar itu justru menjadi penyebab runcingnya konflik antara kubu Aburizal Bakrie (Ical) dan kubu Agung Laksono saat ini.
“Setidaknya ada dua kesalahan Mahkamah Partai Golkar. Pertama, komposisi anggota Mahkamah Partai seharusnya berjumlah ganjil, sehingga akan terhindar dari deadlock. Kedua, putusan Mahkamah Partai seharusnya memuat diktum yang bersifat deklaratoir dengan menyatakan kepengurusan mana yang sah, sehingga tidak ambigu,” paparnya.
Apabila merujuk Pasal 32 ayat (5) UU Parpol sebagaimana juga dikutip Menkumham dalam suratnya memang putusan Mahkamah Partai khusus terkait perselisihan kepengurusan itu bersifat final dan mengikat secara internal.
Namun, pasal itu harus dikaitkan juga dengan Pasal 24 UU Parpol, sehingga adanya suatu putusan Mahkamah Partai, tidak serta merta menjadikan Menkumham dapat langsung menerbitkan SK, karena harus dilihat dulu apakah putusan itu menyelesaikan perselisihan atau tidak.
“Kalau belum menyelesaikan perselisihan, maka penerbitan SK pengesahan itu harus ditunda terlebih dahulu,” pungkasnya. [MAN/OKE]