Jakarta – Pemerintah menegaskan bahwa 19 situs online yang dinilai radikal, yang diajukan untuk ditutup oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tidak ditutup. Namun hanya ada pembatasan akses, sehingga tidak semua orang bisa mengaksesnya.
“Kita luruskan istilahnya, tidak ada penutupan karena tidak hilang situsnya. Sebaliknya, yang terjadi adalah di-filter karena ada suatu laporan. Situs-situs itu tidak terbaca saja, bukan hilang dan itu namanya filter,” kata Ketua Bidang Hukum dan Regulasi Desk Cyber Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenpolhukam), Edmon Makarim, di wilayah Menteng, Jakarta, Sabtu (4/4/2015).
Edmon menegaskan hal ini karena ada simpang siur yang terjadi di masyarakat yang mengira situs-situs tersebut ditutup, padahal di-filter. Dalam surat kesepakatan rapat yang kami terima terkait situs radikal, pada poin pendahuluan tertulis, “Permohonan BNPT untuk penutupan terkait situs radikal kepada Kominfo yang oleh BNPT telah dilakukan investigasi dan analisa internal”.
Menurut Edmon, sistem filter atau penyaringan adalah hal yang penting agar informasi yang disampaikan tidak menyesatkan masyarakat. Pemerintah, lanjutnya, dalam melakukan penyaringan informasi telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Edmon mengatakan bahwa Indonesia telah memiliki kriteria filter konten yang diatur oleh Undang-Undang terkait. Jadi misalnya konten berisi pornografi, pelanggaran hak cipta dan konten lainnya telah memiliki aturannya masing-masing.
“Pemfilteran itu untuk semuanya karena sudah ada patokannya masing-masing di dalam Undang-Undang terkait,” jelasnya.
Edmon pun menegaskan bahwa untuk filter terhadap 19 situs online yang dinilai radikal, tidak sampai ke tahap penuntutan secara hukum. Hal ini karena filter bersifat pencegahan.
“Filter ini kan berkaitan dengan pencegahan. Kalau pencegahan belum ada proses penuntutan karena kita ingin mencegah informasi yang mengganggu masyarakat,” ungkap Edmon. (lip6)