JAKARTA – Setidaknya, ada enam mitos yang salah tentang kuliah di luar negeri. Padahal, kuliah di luar negeri merupakan impian ribuan pelajar di Indonesia.
Memang menyenangkan berkesempatan kuliah di luar negeri. Banyak pengalaman baru yang akan didapat. Berikut ini, enam mitos tentang kuliah di luar negeri yang masih diyakini oleh para orangtua Indonesia.
1. Kuliah di luar negeri pasti mahal
Salah satu inovasi penting di industri pendidikan adalah international pathway program yang telah sukses diselenggarakan di banyak negara. Melalui pathway program, Anda tidak hanya dapat menghemat hingga Rp900 juta.
Mahasiswa pun akan jauh lebih siap menempuh pendidikan di luar negeri, karena pathway program juga melengkapi mahasiswanya dengan berbagai program pemantapan.
Marketing & Public Relations Manager, UniSadhuGuna International Education, Aimee Sukesna mengatakan, di tahun-tahun awal, banyak mahasiswa yang sulit beradaptasi saat kuliah di luar negeri.
“Pathway program menjamin mereka siap belajar dan langsung menyerap ilmu di sana,” ujar Aimee, seperti dikutip dari siaran pers, Selasa (24/3/2015).
Program ini memungkinkan mahasiswa belajar selama satu atau dua tahun di dalam negeri. Satu sampai dua tahun berikutnya, mereka dapat melanjutkan kuliah di universitas bergengsi di luar negeri.
Dan yang terpenting, semua mata pelajaran kuliah yang mereka ambil di Indonesia dapat diterima oleh universitas di luar negeri. Ini karena penyelenggara program pathway tersebut telah membuat perjanjian dengan kampus–kampus ternama di luar negeri.
2. Biaya rumah sakit di luar negeri bisa merepotkan dan mahal
Aimee mengungkapkan, banyak negara menyediakan fasilitas kesehatan yang baik dan mudah diakses mahasiswa asing. Di Australia, misalnya, mahasiswa asing wajib mempunyai asuransi kesehatan yang disebutOverseas Students Health Cover (OSHC).
“Asuransi ini telah dibayarkan oleh mahasiswa di awal pengurusan aplikasi visa, sehingga mereka dapat menggunakan fasilitas rumah sakit dengan mudah jika dibutuhkan,” ucapnya.
Oleh karena itu, kenali berbagai opsi tentang asuransi di negara tujuan. Yang tidak kalah penting yaitu soal bank. Dalam kondisi darurat, mahasiswa mungkin membutuhkan uang tunai. Cara terbaik adalah memiliki rekening bank di domisili negara tersebut.
3. Memantau perkembangan anak di luar negeri pasti sulit
Meskipun orangtua akan terpisah ribuan kilometer dengan anaknya, teknologi akan mendekatkan dan meredam kekhawatiran. Aplikasi videochat seperti Skype akan memungkinkan dapat berbicara langsung dan jauh lebih murah daripada telepon.
Jadwalkan waktu untuk berkomunikasi via Skype, sehingga dapat memantau perkembangan dan aktivitasnya.
4. Harus kuliah di negara dengan tingkat kriminalitas paling rendah
Tenang saja. Kebanyakan kampus di luar negeri memiliki sistem keamanan yang baik untuk melindungi peserta program. Bahkan pemerintah seperti Australia mewajibkan pihak kampus untuk mengantarkan mahasiswanya pulang, jika mahasiswa tersebut tinggal sampai larut malam di area kampus dan membutuhkan bantuan untuk pulang.
“Tapi, keamanan mahasiswa bukan hanya tanggung jawab kampus saja. Orangtua dan anak juga memiliki peran penting untuk meminimalisasi potensi kejahatan,” ungkapnya.
Orang tua, misalnya, harus rajin mencari informasi tentang keamanan di lingkungan sekitar kampus dan tempat tinggal anak dengan memantau website kampus atau koran lokal. Dan juga memilih tempat tinggal dengan lingkungan yang aman dan nyaman.
5. Tempat tinggal di luar negeri membutuhkan biaya besar
Memang tidak semua mahasiswa dapat tinggal di asrama internasional yang disediakan kampus. Tapi jangan khawatir, masih banyak opsi lain, seperti homestay atau tinggal di rumah warga dengan asal negara yang sama, students lodge atau akomodasi di luar kampus yang tersedia untuk mahasiswa internasional atau apartemen khusus mahasiswa sekitar kampus.
Proses aplikasi tinggal di asrama kampus maupun opsi akomodasi yang lain dibuat sangat mudah bagi para mahasiswa internasional. Bahkan sejak mengisi formulir aplikasi universitas, sudah tersedia opsi pilihan akomodasi, sehingga mahasiswa dapat merencanakan sejak awal.
Oleh karena itu, Aimee menyarankan, agar pengurusan tempat tinggal dilakukan pada saat proses pengurusan di Indonesia.
“Biasanya kami sarankan untuk satu semester pertama agar tinggal di akomodasi yang disediakan oleh kampus atau homestay, lalu di semester kedua dapat mencari tempat tinggal sendiri di apartemen maupun rumah bersama teman,” tuturnya.
Lebih praktis lagi, lanjut Aimee, mahasiswa dapat memanfaatkan jasa konsultan yang dapat membantu keseluruhan proses aplikasi.
“Di kampus misalnya, mahasiswa tidak perlu mengkhawatirkan proses ini karena akan ditangani oleh departemen khusus,” katanya.
6. Proses pengajuan visa untuk kuliah di luar negeri sangat sulit
“Jika semua persyaratan dilengkapi, maka semestinya tidak ada masalah,” kata Aimee.
Beberapa negara mempunyai proses pengurusan visa yang berbeda, dan yang harus disiapkan, antara lain surat dari kampus yang dituju bahwa siswa telah diterima, bukti keuangan yang cukup, Kartu Keluarga (KK), paspor dan dokumen pendukung lain. Dan jika memilih pathway program, maka proses pengajuan visa akan jauh lebih mudah karena akan dibantu sepenuhnya oleh penyelenggara program.
Di Indonesia, salah satu kampus yang menyediakan pathway program adalah UniSadhuGuna International College (UIC). Selama lebih dari 20 tahun, UniSadhuGuna telah mengembangkan program ini dan bekerja sama dengan lebih dari 100 kampus bergengsi di mancanegara.
“Pathway program di UIC, memungkinkan mahasiswa belajar satu atau dua tahun di Jakarta dan tahun berikutnya di kampus-kampus pilihan mereka di luar negeri, seperti Australia, Amerika, Inggris dan negara lainnya,” kata Aimee. (oke)