SUARA BEKASI, Jakarta: Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie mengimbau pemerintah untuk menolak tawaran tukar guling yang diusulkan oleh pemerintahan Australia. Seperti diketahui, pemerintah negeri Kanguru itu menawarkan tiga terpidana narkoba asal Indonesia untuk dibarter dengan dua terpidana mati kasus Bali Nine.
“membarter nyawa manusia, apalagi tiga orang kita untuk dua orang mereka, memangnya kita lebih murah,” ujar Jimly kepada wartawan, Sabtu (7/3/2015).
Jimly menambahkan, pemerintah harus mempertimbangkan pandangan masyarakat serta perspektif global sebelum memutuskan. Terlebih disaat bersamaan, tidak sedikit pula warga negara Indonesia (WNI) yang divonis humuman mati di negara-negara lain.
“Terserah pemerintah, itu bisa saja sebagai ide, tapi harus mempertimbangkan sikap masyarakat terhadap narkoba serta pandangan internasional soal hukuman mati, karena bisa jadi bagi bangsa lain kita ini munafik,” imbuhnya.
Untuk itu, Jimly meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bertindak gegabah dan memakai logika hukum secara linier. Sebab, masalah tersebut bukan lagi persoalan hukum, melainkan bagaimana mengelola suara masyarakat dengan internasional.
“Di situ seninya, jadi bukan lagi hukum, ini soal kemanusiaan, dan jangan berpikir kalau hukumnya begini harus begini,” jelasnya.
Terlebih, lanjut Jimly, saat MK memutuskan untuk menolak uji materi terhadap penghapusan hukuman mati pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada 30 Oktober 2007, terdapat perbedaan pendapat dari para hakim.
Sebab itu, suara-suara penolakan hukuman mati tidak bisa juga dikesampingkan. “Kita tidak bisa kesampingkan suara yang menolak, saat itu putusan hakin ada dissenting opinion,” bebernya.
Namun, Jimly menawarkan salah satu alternatif pendekatan internasional agar eksekusi terpidana mati diserahkan kepada negara tetangga yang masih menerapkan hukuman serupa.
Di Papua Nugini misalnya, tujuannya, agar Indonesia tetap bisa menjaga hubungan baik dengan Australia serta bisa menghemat biaya. Jika pemerintah melakukan hal tersebut, bahkan bisa menjadi kebiasaan baru dalam hukum internasional.
“Mending serahin ke tetangga eksekusinya, di hukum internasional tidak ada larangan, jadi bisa juga jadi kebiasaan baru, dan kita tetap bertetangga yang baik serta hemat biaya,” pungkasnya. [MAN/OKE]